Selasa, 10 Februari 2009

Dikotomi Versus Integrasi


1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS (96) Al alaq :1-5)

Perintah Allah pertama kali yang diturunkan adalah perintah “bacalah” berarti berfikirlah secara teratur atau sistematik dan terarah dalam mempelajari firman dan ciptaan-Nya. Proses membaca itu harus dilaksanakan dengan menyebut nama Tuhanmu, berarti harus terpadu dengan dzikir. Dengan demikian, manusia akan lebih mampu menangkap dan membaca apa-apa yang telah diciptakan-Nya yaitu al-Quran, as-sunnah, dan al-kaun. Proses pembacaan terhadap firman dan ciptaan-Nya terkait langsung dengan transedensi spiritual, yang akan menempatkan manusia tidak hanya sebagai tukang mengumpulkan beragam informasi ilmu pengetahuan tetapi lebih dari itu, sebagai khalifah dan hamba Allah.

Dengan kata lain, mengkaitkan rasionalitas manusia dengan nilai transedensi Tuhan, yang telah menciptakan segala sesuatu dan memberi kesempatan manusia untuk membuka dan mengenal kebesaran kekuasaan-Nya. Dengan proses pembacaan terhadap tiga sumber rujukan kebenaran ilmiah dan dengan menggunakan pendekatan atau metode semacam di atas –seperti yang di maksudkan dalam interpretasi terhadap ayat 1 surat al-‘Alaq –itu maka Allah berkenan untuk membuka alam pikiran manusia dan mengajarkan setetes ilmu-Nya.

Ilmu terpadu itu mempunyai karakteristik yang khas Islami, sekaligus merupakan identitas umat Islam dalam berilmu dan berpikir. Secara operasional, daya pikir akan terpadu dengan daya dzikir tanpa kesulitan, bahkan akan memberikan kenikmatan batin dalam hati orang yang bersangkutan. Dengan ilmu terpadu dan dengan metode pendekatan terpadu, umat Islam akan mampu menghadapi segala tantangan zamannya dan akan mampu menjawab dan menyelesaikan setiap masalah. Setiap orang menyaksikan beragam kehidupan duniawi yang makin mempesona, menarik dan menggoda sehingga semakin kuat mendorong hawa nafsu ke arah perbuatan jahat dan dosa. Ilmu terpadu dapat membantu untuk memperkuat dan memperteguh iman di dalam dada sehingga akan mampu, mengatasi setidaknya menangkal dorongan jahat dari hawa nafsu itu.[1]

Dikotomi vs terpadu

Jika melihat ke belakang, dikotomi ilmu adalah konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam tradisi keilmuan salaf. Banyaknya ulama yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat ulama kita tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Apa yang diistilahkan orang-orang sekarang sebagai ilmu agama (ilmu-ilmu Islam- Teologi, Tafsir, Hadis, Fikih, dll) dan ilmu-ilmu umum (ilmu sekuler), dalam pandangan Islam, pada batas tertentu, wajib dikuasai semuanya. Terminologi 'ilm (ملع) dalam ranah keilmuan Islam sangat luas cakupannya: menyangkut hal yang bisa diverifikasi dan hal-hal yang bersifat metafisik. Ada perbedaan makna antara ملع (bahasa Arab) dengan science (Inggris). Karena istilah science sangat positivistik: hanya mendasarkan kebenaran pada realitas empiris belaka. Sedangkan 'ilm dalam Islam mencakup yang empiris dan yang metafisik. Ilmu dalam Islam didefinisikan sebagai pengetahuan yang diyakini kebenarannya yang sesuai dengan "realitas"-baik realitas wahyu maupun realitas empirik. Hal-hal apa saja yang bisa dijadikan sumber pengetahuan lah yang kemudian membedakan Barat modern-matrialisme dengan dengan Islam. Karena Barat sangat positivistik maka mereka hanya mengakui bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah alam materi (data empirik). Sementara epistimologi Islam bersandar pada dua hal: wahyu dan kaun-empirik. Konsekunsinya, bagi Barat, kajian-kajian yang tidak bisa diverifikasi melalui indera, seperti halnya ilmu tauhid (konsep ketuhanan, alam gaib) dianggap sebagai tidak ilmiah. Sementara bagi orang Islam itu jelas sangat ilmiah karena penjelasan tentang konsep-konsep di atas langsung diterangkan melalui sumber terpercaya, wahyu.[2]

Adapun konsep spesialisasi ilmu, kalau yang dimaksud adalah menguasai satu atau dua bidang secara mendalam, dan faham dengan bidang-bidang lain yang berkaitan denganya, walau tidak dalam betul, maka tidak ada problem. Tetapi kalau yang dimaksud dengan spesialisasi ilmu, adalah faham betul dengan satu bidang (misalnya fisika saja, kimia saja, fikih saja) dan tidak faham sama sekali atau buta dengan bidang lain yang berkaitan dengannya, seperti Tafsir, Hadis, maka ini berbahaya. Karena akan menghasilkan pemahaman yang tak komprehensif.

Sedangkan pembagian ilmu menjadi fardu 'ain dan fardu kifayah tidak perlu difahami secara dikotomis atau berhadap-hadapan, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat taklif, kebutuhan, prioritas dan kebenarannya. Pada prakteknya, ia mesti dilihat dalam satu-kesatuan (integral) yang pada akhirnya harus saling melengkapi. Konsep fardu kifayah adalah khas Islam dan tidak akan ditemukan pada peradaban lain. Adapun Klasifikasi yang dilakukan Khawarizmi dalam Mafatih al-'Ulum-nya, atau oleh generasi setelahnya, seperti Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin-nya hanya demi kebutuhan teknis, untuk memudahkan pemetaan jenis keilmuan yang mengacu kepada: objek dan tujuan untuk apa ilmu itu diciptakan atau dalam istilah lain menyacu ke mabadi al-asyrah. Apa yang disebut ilmu-ilmu syari'ah (ilmu-ilmu Islam) adalah ilmu yang diciptakan dalam rangka untuk memahami al-Quran dan Hadis (Khadimun lahuma). Klasifikasi ini tidak dimaksudkan bahwa ilmu-ilmu keislaman penting sekali, sembari menepikan urgensitas ilmu-ilmu umum. Ingat, orang dulu menganggap semua ilmu penting. Maka dalam logika Fikih, kalau umat Islam tidak punya pakar-pakar kedokteran, kimia, fisika, dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan dalam kehidupan, hukumnya adalah semua orang Islam yang tertaklif terkena dosa. Karena itu fardhu kifayah. Pemahaman dasar ini sangat penting dalam rangka membangun integrasi keilmuan demi bangkit dari keterpurukan dan kembali membangun peradaban Islam yang diplot Allah Swt sebagai rahmatan lil'alamin. Karena efek negatif dari dikotomi keilmuan adalah berkembangnya pemikiran yang menghadapkan secara diametral antara akal dan wahyu. Ini tentu sangat tidak menguntungkan. Padahal dalam sistem epistemogi Islam sudah jelas bahwa wahyu adalah sumber pengetahuan dan akal adalah alat untuk memahami wahyu. Kedua-duanya sama-sama dibutuhkan dalam konstruk pemikiran Islam.

Konon, fonemena dualisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relatif baru (Kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah). Dualisme lembaga pendidikan sekarang ini: ada yang disebut sekolah umum dan ada di istilahkan sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan, “Saya ini orang awam,” untuk urusan agama. Ulama-ulama terdulu, tak pernah membedakan. Bagi mereka semuanya penting. Hanya menurut Muhamad Abduh, misalnya, harus ada skala prioritas dimana ilmu agama perlu diajarkan pertama kali karena berkaitan dengan kebutuhan dasar sebagai orang beragama, dia harus tahu hakikat agamanya, supaya punya identitas, sistem moral yang kuat dan visi yang jelas. Bukti bahwa orang dulu tak pernah menganaktirikan disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas keilmuan yang dikuasai ulama-ulama terdahulu. Seorang Ibn Rusyd, misalnya, adalah ahli filsafat, ahli fikih, sekaligus seorang pakar kedokteran. Tak heran juga, misalnya, kalau Ibn Nafis adalah dokter ahli mata, plus ahli fikih. Ibn Khaldun, sosiolog Islam ternama, juga seorang ahli fikih, Imam Syuyuthi menguasai lebih dari 7 disiplin ilmu. Jadi bisa dikatakan ternyata orang dulu hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu. Karena bagi mereka semua aliran ilmu itu berada dalam satu atap bangunan pemikiran dan bersumber dari Allah, Dzat yang Maha Esa. Tidak ada ilmu yang berdiri sendiri. Semuanya saling terkait. Saling melengkapi. Itulah rahasia orang bisa menghasilkan karya berbobot dan bertahan dipasaran dalam jangka waktu sangat lama: mereka punya otoritas keilmuan interdisipliner.

UIN Sunan Kalijaga: integrasi-interkoneksi

Menurut Amin Abdullah, dalam setiap langkah yang ditempuh selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan obyektif dan kokoh, karena al-Qur’an dan As-Sunah dimaknai secara baru dan menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keberagamaan. Pada dasarnya Islam mengajarkan berbagai disiplin ilmu yang universal tanpa adanya dikotomi antara:ilmu qauliyyah/hadlarah al-nash (ilmu yang berkait dengan teks keagamaan), ilmu kauniyyah-ijtima’iyyah / hadlarah al-‘ilm (ilmu kealaman dan kemasyarakatan ) dan hadlarah al-falsafah (ilmu-ilmu etis-filosofis).[3]

Pendekatan integratif adalah terkaitnya satu ilmu dengan ilmu yang lain melalui satu hubungan yang saling menghargai dan saling mempertimbangkan. Jadi , yang dimaksud dengan pendekatan integrasi-interkoneksi ilmu yaitu pendekatan yang menempatkan berbagai disiplin ilmu saling bersinggungan satu sama lainnya sehingga menjadi satu bangunan yang utuh.



[1] Umar Anggoro Jeni, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, Yogyakarta, Suka Press, 2003.

[2] Aang Asy'ari, Apakah Ulama Klasik Mengenal Dikotomi Ilmu?,www.cybermq.com diakses 20 February 2008.

[3] Amin Abdullah, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, Yogyakarta, Suka Press, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar